LANGIT ITU MASIH BERWARNA BIRU

            Pagi ini Khalifah terlihat begitu ceria dibandingkan dari biasanya. Ia begitu berharap bahwa dokter yang merawatnya memenuhi semua janjinya itu untuk memperbolehkan dirinya bermain di halaman taman rumah sakit. Itu berarti seluruh alat medis yang menempel dalam tubuh Khalifah, hari ini akan dilepaskan. Sehingga hanya selang infus saja yang menempel di pembuluh dara tangannya Khalifah.

            “aaagggghh….” Tiba-tiba kepala Khalifah seperti berputar. Perutnya seperti dikocok-kocok. Khalifah berusaha untuk menahan rasa mualnya. Khalifah tidak ingin rencana untuk keluar kamar di pagi ini menjadi gagal. Untung saja ayah dan bunda khalifah tidak sedang menunggunya. Sehingga tidak ada satu orangpun yang melihat ekspresi wajah Khalifah ketika sedang menahan rasa mualnya.

            Namun, rasanya kepala khalifah semakin menjadi-jadi dan cepat sekali berputarnya. Perutnya terus seperti dikocok-kocok. Semua isi perut Khalifah rasanya sudah tidak kuat lagi dan harus segera dikeluarkan.

            “hueeek…” akhirnya seluruh isi perut Khalifah keluar. Khalifah sudah tidak kuat lagi menahannya. Air matanya pun mulai mengalir.

            “Ya allah, Khalifah ?” bunda tersentak kaget ketika melihat kamar rawat putrinya sudah penuh dengan muntahan dan berceceran dilantai.

            “Dokter….?” Panggil bunda Khalifah panik.

            Beberapa saat kemudian, datanglah seorang perawat dan seorang dokter ke kamar Khalifah . Lalu mereka langsung memeriksa keadaan Khalifah.

            “Dokter, ngga akan mengingkari janji dokter kemarin kan?” Tanya Khalifah seperti anak kecil yang manja .

            “Janji apa?” Tanya dokter tersebut sambil mengerutkan dahinya.

            “Janji untuk mengizinkan Khalifah pergi ke halaman taman rumah sakit,”  ucap Khalifah masih dengan sikap seperti anak kecil.

            “Kalau kondisi kamu sampai besok pagi tidak terjadi apa-apa, kamu boleh pergi,” ucap dokter tersebut sambil mengulaskan senyum kecil kepada Khalifah.

            “Ah, betapa malang nasibku ini, hanya ingin menikmati keindahan diluar saja tidak boleh. Ya Allah apa salah dan dosaku ini ?” umpat Khalifah penuh emosi.

            “Astagfirullah,” bisik Khalifah, setelah tersadar ia telah mengumpat Allah. Tidak menerima apa yang sedang Allah berikan kepada Khalifah.

***

            Sudah satu bulan Khalifah berada di rumah sakit, tanpa melihat indahnya mentari. Namun, pagi yang cerah telah lama menantinya. Khalifah diperbolehkan untuk keluar kamar perawatan oleh dokter .

            Terlihat burung-burung kecil saling berkejaran, hinggap dari dahan satu ke dahan lainnya. Kolam ikan dengan air mancurnya yang berada ditengah halaman taman sungguh sangat menyejukkan hati. Ditambah lagi dengan tanaman bunga berwarna-warni yang tertata sangat rapi.

            Pantas saja jika rumah sakit ini memiliki fasilitas halaman taman yang begitu mewah, mengingat semua pasiennya rata-rata harus dirawat diruma sakit dengan rentan waktu yang cukup lama. Untuk mengusir rasa jenuh para pasien, pihak rumah sakit selalu memberikan hiburan, meskipun hanya sebuah halaman taman yang begitu besar.

            Khalifah mencoba untuk membaca buku bacaan yang sudah dibawanya. Buku yang berjudul La Tahzan , kiriman dari Gufron untuk Khalifah. Khalifah berharap, dengan berada diluar kamar perawatan, matanya akan lebih jelas untuk melihat tulisan yang tercetak pada buku tersebut. Khalifah memicingkan matanya agar tulisan dibuku tersebut dapat terlihat lebih jelas.

            “Hai, kamu pasien baru ya?” tegur seorang gadis, dengan kepala tanpa sehelai rambut ,dengan wajah yang pucat, dan tidak berbeda jauh dengan Khalifah. Khalifah bingung. Khalifah hanya mengulaskan senyum kecil dibibirnya.

            “Kenalkan namaku Silvia. Aku sudah dirawat disini selama dua bulan,” ucap gadis itu dengan ramah.

            “Namaku Khalifah. Aku sudah hamper satu bulan dirawat disini. Kalau boleh tahu, mbak Silvia sakit apa?” jawab Khalifah.

            “Jangan panggil mbak, panggil saya Silvia saja. Aku terkena kanker darah stadium akhir,” jawabnya dengan mata berlinang sambil menatap air mancur yang berada ditengah taman.

            “ koq aku tidak pernah melihat dirimu ya? Oiya, kalau boleh tau kamu sakit apa?” ucapnya lagi, setelah beberapa lama membisu.

            “ iya, aku baru diperbolehkan keluar kamar perawatan hari ini, oleh dokter. Aku terkena kanker otak stadium akhir juga,” jawab Ifah.

            “ sebenarnya aku sudah muak dan tidak kuat lagi untuk tinggal lama-lama dirumah sakit ini, Khalifah. Aku sudah berjuang selama bertahun-tahun dengan penyakitku ini. Sampai aku sendiri lupa bagaimana rasa sakit yang aku derita. Ditambah lagi, tidak ada satupun dari keluargaku yang datang untuk menjengukku dan merawatku. Aku disini selalu kesepian, sendiri. Yang orang tuaku pikirkan hanya kerja,kerja,kerja dan kerja saja. Aku tahu karena biaya untuk pengobatan penyakitku ini tidak sedikit dan membutuhkan biaya yang cukup besar. Tetapi, bukan itu yang aku butuhkan. Karena sama saja, penyakit yang aku derita ini hanya bom buat kehidupanku.aku hanya membutuhkan kedua orang tuaku untuk selalu disampingku. Menemani aku di sisa akhir  hidupku. Hidupku tidak akan lama lagi. Aku hanya membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuaku,” ungkap Silvia dengan berlinangan air mata.

            Terlihat Silvia telah memendam perasaan sudah lama. Kemudian ia langsung mengungkapkan seluruh perasaannya saat bertemu dengan Khalifah. Bagi Silvia, ia merasa begitu nyaman ketika berada disamping Khalifah, meski Silvia Bru mengenal Khalifah.

            “ Sabar, Allah pasti mempunyai rencana yang lebih baik dan lebih indah dibalik semua ini,” Komentar Khalifah.

            “Aku sudah muak dengan kata ‘sabar’ ,” ungkap Silvia penuh emosi.

            “ Mungkin kita memang sudah muak dengan kata sabar, yang sering dinasihatkan oleh orang-orang yang berada di sekeliling kita. Tetapi, apakah ketika sabar itu aku yang mengatakan, dengan posisi yang sama-sama merasakan sakit seperti ini. Apakah kamu tidak percaya juga?” ucap Khalifah tajam.

            Silvia hanya mengangguk, pandangannya ia alihkan ke langit yang luas membiru. Sedangkan Khalifah kembali sedang mengeja huruf yang terlihat menjadi dua dan tertutp kabut.

            “ Kamu sedang baca buku apa ?” Tanya Silvia mengangetkan Khalifah yang sedang serius membaca buku.

            “ Ini buku tentang motivasi. Tapi aku agak sulit untuk membacanya. Syaraf yang ada di penglihatanku sudah rusak,” Jawab Khalifah.

            “ Mau aku bacakan tidak? Aku juga bosan jika harus terus memandang air mancur itu,” ucap Silvia menawarkan diri.

            Sampai matahari sudah mulai tinggi, Silvia asyik membacakan buku untuk Khalifah. Silvia tampak sangat bahagia sekali mendapatkan teman baru seperti Khalifah. Begitu juga dengan Khalifah. Sesekali mereka sambil mengulas canda.

            “ Eh, Ifah kenapa kamu memakai jilbab lebar seperti ini?” Tanya Silvia tiba-tiba.

            “ Aku juga dulu pernah memakai jilbab, untuk menutupi kepalaku yang botak. Tapi aku rasa percuma saja jika aku memakai jilbab. Kenapa juga harus aku tutupi? Toh semua orang juga tahu bahwa kepalaku botak karena penyakitku ini. Kamu botak juga ya ? hehe.. ,” tambah Silvia dengan sakit canda.

            “ Jauh sebelum aku sakit, aku sudah memakai jilbab. Karena memakai jilbab wajib dipakai oleh semua umat muslim terutama jiaka sudah baligh. Karena untuk menjaga kesucian kita dan menjaga kehormatan seorang wanita. Bukan sekedar untuk menutup kepalaku saja yang  botak dan tidak berambut,” ungkap Khalifah.

            “ Oh begitu ya ? lama sekali aku tidak pernah mengaji. Terakhir kali aku mengaji pada waktu aku khatam al-Qur’an di TPA,” ungkap Khalifah.

            Diskusi mereka pun berlanjut. Terik mataharipun dan ajakan perawat tidak mereka hiraukan. Seakan pertemuan itu adalah pertemuan pertama dan terakhir bagi Silvia dan Khalifah.